Saturday, July 18, 2015

Puasa Syawal: Hukum, Keutamaan, Ikhtilaf Para Ulama Madzhab

Puasa Syawal: Hukum, Keutamaan, dan Ikhtilaf Para Ulama - Bagi orang Indonesia pasti dari kecil sudah diajarkan bahwa puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya sunnah. Orang-orang tua kita juga mengajarkan kepada kita bahwa yang paling utama, puasa Syawal dilaksanakan sejak tanggal 2 Syawal dan dianjurkan untuk dilaksanakan 6 hari secara berturut-turut/berkesinambungan tanpa ada jeda/terpisah. Sehingga puasa Syawal ini paling afdhol dilaksanakan dari tanggal 2 sampai 7 Syawal.

Ajaran seperti itu tentu saja tidak salah. Ajaran tersebut sangat wajar disebarkan di Indonesia mengingat mayoritas penduduk Indonesia menganut madzhab Syafi'iyyah. Dan memang demikianlah puasa sunnah 6 hari di Bulan Syawal menurut madzhab Syafi'iyyah.

Namun demikian, jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata ulama-ulama 4 madzhab tidak satu suara tentang hukum dan tata cara pelaksanaan puasa Syawal ini. Mari kita bahas satu per satu.

DALIL YANG DIGUNAKAN MENGENAI KESUNNAHAN PUASA SYAWAL


Dalil yang digunakan untuk berhujjah mengeni kesunnahan berpuasa selama 6 hari di bulan Syawal adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shohabat Abu Ayyub Al Anshory. Menurut hadis ini, dikatakan bahwa Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barang siapa berpuasa di bulan Romadlon, kemudian mengikutinya dengan 6 hari dari bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun (HR Muslim 2/822).
Hadis di atas menunjukkan adanya kesunnahan untuk berpuasa selama 6 hari di bulan Syawal. Dikatakan menunjukkan kesunnahan karena di dalam hadis tersebut tidak disebutkan adanya ancaman bagi yang tidak melaksanakan serta bagi yang menjalankan puasa dijanjikan pahala. Dengan demikian hadis ini merupakan anjuran yang dengan bahasa lain merupakan sunnah, bukan kewajiban karena tidak ada ancaman bagi yang meninggalkan.

KEUTAMAAN PUASA SYAWAL


Di dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Muslim di atas telah disebutkan bahwa keutamaan dari berpuasa selama 6 hari di bulan Syawal, setelah sebelumnya berpuasa selama satu bulan di bulan Romadlon, adalah pahalanya seperti berpuasa selama satu tahun. Hal ini juga didukung dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi sebagai berikut:

عن ثوبان - رضي الله تعالى عنه - قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم : صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وستة أيام بعدهن بشهرين ، فذلك تمام سنة
Dari Tsauban Rodliyallohu 'anhu, beliau berkata: Nabi Shollalohu 'alaihi wasallam bersabda: Puasa satu bulan romadlon setara dengan berpuasa sepuluh bulan dan puasa 6 hari setelahnya setara dengan puasa selama dua bulan. Maka yang demikian itu adalah sempurnanya satu tahun (HR Ad Darimi 2/21 dengan sanad yang shahih).
Dari hadis tersebut ulama menjelaskan bahwa suatu kebaikan pahalanya dihitung dengan sepuluh kali lipatnya. Puasa 30 hari (satu bulan) pahalanya dikalikan 10 sama dengan 300 hari (10 bulan), dan puasa 6 hari dikalikan 10 sama dengan 60 hari (2 bulan). Jika ditotal sama dengan 360 hari (12 bulan atau 1 tahun).

Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi'i berkata di dalam Kitab Beliau Al Hawi Al Kabir:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِي بِالْحَسَنَةِ عَشْرًا فَتَحْصُلُ لَهُ بِشَهْرِ رَمَضَانَ وَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا بِثَلَاثِمِائَةِ حَسَنَةٍ وَبِسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ سِتُّونَ حَسَنَةً، وَذَلِكَ عَدَدُ أيام السنة
Sesungguhnya Alloh Ta'ala menganugerahkan kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Maka Satu bulan Romadlon yaitu tiga puluh hari menghasilkan kebaikan berupa 300 kebaikan, dan 6 hari dari bulan Syawal dengan 60 kebaikan. Dan yang demikian itu bilangan hari dalam setahun [Abul Hasan Al Mawardi (w. 450 H) Al Hawi Al Kabir].

PUASA SYAWAL MENURUT 4 MADZHAB


Hukum dan tata cara pelaksanaan Puasa Syawal menurut pendapat dari ulama 4 madzhab sebagai berikut:

1. Puasa Syawal Menurut Madzhab Syafi'iyyah dan Sebagian Ulama Hanabilah


Madzhab Syafi'iyyah dan sebagian ulama dari kalangan Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa puasa 6 hari di bulan Syawal hukumnya sunnah berdasarkan hadis dari Imam Muslim di atas. Menurut Madzhab ini, puasa 6 hari di Bulan Syawal lebih afdhol dilaksanakan mulai tanggal 2 Syawal sampai dengan 7 syawal, berturut-turut/berkesinambungan tanpa terputus hari yang lain. Hal ini dimaksudkan untuk bersegera dalam beribadah tanpa menunda-nunda. Jika ditunda-tunda dikhawatirkan akan ada halangan semisal sakit, hamil, menyusui, meninggal dunia, atau sebab yang lain.

Imam Nawawi (Syafi'iyyah) berkata mengenai kesunnahan puasa Syawal sebagai berikut:

فِيهِ دَلَالَةٌ صَرِيحَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَمُوَافِقِيهِمْ فِي اسْتِحْبَابِ صَوْمِ هَذِهِ السِّتَّةِ
Di dalam hadis ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi'iyyah, Imam Ahmad (bin Hanbal), Dawud, dan dan yang sepakat mengenai kesunnahan berpuasa 6 hari ini (di bulan Syawal) [Imam Nawawi (w. 676 H), Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj].
Sedangkan Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah berkata:

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Kesimpulan dari hal tersebut adalah bahwa sesungguhnya puasa 6 hari dari bulan Syawal adalah sunnah/mustahab menurut pendapat mayoritas ahli ilmu [Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hanbali (w.620), Al Mughni].

2. Puasa Syawal Menurut Madzhab Hanabilah


Menurut pendapat madzhab Hanabilah, puasa 6 hari di bulan Syawal tidak ada ketentuan dilaksanakan mulai dari tanggal 2 Syawal. Menurut mereka juga tidak harus dilaksanakan secara berturut-turut. Asalkan dilaksanakan dalam bulan Syawal, maka sudah mendapatkan kesunnahan. Selain itu juga tidak ada perbedaan (tidak ada yang lebih afdhol) apakah dilaksanakan di awal bulan, pertengahan bulan, akhir bulan, berturut-turut ataupun tidak.

Madzhab Hanabilan berpendapat bahwa orang yang tidak berpuasa di bulan Romadlon maka tidak disunahkan untuk melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal.

3. Puasa Syawal menurut Madzhab Hanafiyah


Menurut pendapat madzhab Hanafiyah, puasa 6 hari selama bulan Syawal justru lebih utama untuk dilaksanakan secara tidak berturut-turut. Menurut pendapat mereka, puasa Syawal hendaknya dilaksanakan 1 pekan hanya 2 hari puasa.

Sebagian ulama Hanafiyah ada juga yang berpendapat bahwa puasa Syawal hukumnya makruh jika ada kekhawatiran puasa ini dianggap sebagai bagian dari puasa Romadlon. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abidin Al Hanafi:

قَالَ صَاحِبُ الْهِدَايَةِ فِي كِتَابِهِ التَّجْنِيسُ: إنَّ صَوْمَ السِّتَّةِ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابِعَةً مِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ الْكَرَاهَةَ إنَّمَا كَانَتْ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مِنْ أَنْ يُعَدَّ ذَلِكَ مِنْ رَمَضَانَ فَيَكُونَ تَشَبُّهًا بِالنَّصَارَى وَالْآنَ زَالَ ذَلِكَ الْمَعْنَى اهـ
Berkata pemilik Al Hidayah dalam kitabnya At Tajnis: sesungguhnya puasa 6 hari sesudah idul fitri yang mengikutinya, di antara mereka ada yang memakruhkan. Dan pendapat yang dipilih adalah bahwa sesungguhnya (puasa 6 hari tersebut) tidak apa-apa karena sesungguhnya yang makruh itu jika ia tidak aman dari menganggap bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Romadlon, maka yang demikian itu menyerupai orang-orang nashrani, dan sekarang hal tersebut sudah hilang [Ibnu 'abidin Al hanafi (w. 1252 H, Raddul Muhtar ‘alad Durril Mukhtar]
Ibnu 'abidin menambahkan:

وَمِثْلُهُ فِي كِتَابِ النَّوَازِلِ لِأَبِي اللَّيْثِ وَالْوَاقِعَاتِ لِلْحُسَامِ الشَّهِيدِ وَالْمُحِيطِ الْبُرْهَانِيِّ وَالذَّخِيرَةِ؛ وَفِي الْغَايَةِ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ زِيَادٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِصَوْمِهَا بَأْسًا وَيَقُولُ كَفَى بِيَوْمِ الْفِطْرِ مُفَرِّقًا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ رَمَضَانَ اهـ وَفِيهَا أَيْضًا عَامَّةُ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا.
Dan demikian juga di dalam kita An Nawazil karangan Ibnu Laits, Al Waqi'at karya Al Husam Asy Syahid, Al Muhith Al Burhaniy, dan Adz Dzakhiroh. Dan di dalam Al Ghoyah dari Al Hasan bin Ziyad sesungguhnya ia berpendapat ia tidak apa-apa melakukan puasa tersebut dan ia berkata cukuplah dengan Idul Fitri sebagai pemisah antara 6 hari tersebut dengan Romadlon. Dan demikian juga pendapat Ulama mutaakhirin yang berpendapat tidak apa-apa.[Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar].

4. Puasa Syawal menurut Madzhab Malikiyah


Menurut Madzhab Malikiyah, puasa syawal 6 hari hukumnya makruh jika dilaksanakan mulai tanggal 2 Syawal dan dilaksanakan secara berturut-turut sampai dengan tanggal 7 Syawal.

Ibnu Rusyd, ulama dari kalangan Malikiyah, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid berkata:

إِلَّا أَنَّ مَالِكًا كَرِهَ ذَلِكَ، إِمَّا مَخَافَةَ أَنْ يُلْحِقَ النَّاسُ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ فِي رَمَضَانَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْهُ الْحَدِيثُ أَوْ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَهُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ
hanya saja Imam Malik memakruhkan hal itu, ada kalanya khawatir orang-orang akan menggabungkannya dengan Romadlon apa-apa yang bukan Romadlon. Dan ada kalanya sesungguhnya hadis mengenai hal ini belum sampai kepada beliau atau belum ada hadis shahih menurut beliau, dan inilah pendapat yang paling jelas. [Ibnu Rusyd (w. 595 H), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid].
 Selanjutnya dalam kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah disebutkan:

وَاسْتَحَبَّ مَالِكٌ صِيَامَهَا فِي غَيْرِهِ خَوْفًا مِنْ إِلْحَاقِهَا بِرَمَضَانَ عِنْدَ الْجُهَّال
Imam Malik mensunnahkan puasa tersebut (6 hari Syawal) jika tanpa kekhawatiran dari menggabungkan dengan Romadlon bagi orang-orang yang jahil.
Selain itu, Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al Istidzkar berkata:

وَذَكَرَ مَالِكٌ فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ أَنَّهُ لَمْ يَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا، قَالَ وَلَمْ يَبْلُغْنِي ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ
Imam Malik menyebutkan mengenai puasa 6 hari sesudah Idul Fitri, sesungguhnya belia tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu dan fiqih berpuasa 6 hari tersebut, beliau juga berkata: tidak ada satu riwayat pun yang sampai kepadaku tentang hal tersebut dari salah satu ulama salaf.
 Dilanjutkan dalam Al Istidzkar:

وَإِنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ أَهْلُ الْجَهَالَةِ
dan sesungguhnya ahli ilmu memakruhkan hal tersebut (puasa 6 hari syawal) dan khawatir kebid'ahannya, dan (khawatir) kalau orang-orang jahil menggabungkannya dengan Romadlon apa-apa yang bukan bagian darinya (Romadlon).

Madzhab Malikiyah juga berpendapat bahwa puasa 6 hari tersebut juga disunnahkan di bulan Dzul Hijjah.

Referensi:
1. Ust. Ahmad Zarkazih, Lc: Puasa Syawal hukumnya makruh, benarkah?
2. digiumm.com: puasa syawal menurut 4 madzhab
3. Tajun Nashr: Puasa Syawal: Apa dan Bagaimana
4. Ust. Ahmad Sarwat, Lc: Puasa Syawal Haruskah Berturut-turut

Romeltea Media
Kajian Islami Updated at:

Sunday, June 7, 2015

Fathul Mu'in: Muqoddimah 3, Nama Muhammad, Rosul, Pengertian Fiqih

Kajian Fathul Mu'in - Nabi dan Rosul

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Nama Muhammad arti dan asal usul

"Dan Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf'ul mudho'af (hammada, yuhammidu, muhammadun), diletakkan bagi orang yang banyak perangainya yang bagus. Nabi kita diberi nama Muhammad SAW karena mimpinya kakek beliau dari Alloh"

Nama Muhammad diambil dari fi'il madhi "hammada" dan fi'il mudhori' "yuhammidu" kemudian isim maf'ulnya adalah "muhammadun". Nama Muhammad merupakan nama yang diberikan kepada orang yang mempunyai perangai yang bagus, sebagaimana kita ketahui Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi yang semua perangainya adalah hal yang bagus. Selanjutnya nama Muhammad ini oleh sebagian ulama dikatakan bahwa nama ini diambil karena kakek beliau, 'Abdul Mutholib mendapatkan mimpi dari Alloh.

Nabi Muhammad juga diberi nama Ahmad yang artinya orang yang paling banyak memuji, yaitu orang yang paling banyak memuji Alloh. Sedangkan muhammad artinya yang paling banyak dipuji.

Kakek beliau memberi nama nabi pada hari ke 7 setelah kelahiran nabi. Pada waktu itu orang-orang Arab bertanya kepada kakek beliau kenapa menamakan anak tersebut Muhammad, padahal nenek moyang mereka tidak ada yang bernama Muhammad, dan kaum mereka juga tidak ada yang dinamai Muhammad. Lalu kakek beliau menjawab, "aku berharap agar anak ini dipuji baik di langit maupun di bumi". Dan Alloh telah membenarkan, mengabulkan harapan dari kakek beliau 'Abdul Mutholib.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa yang memberi nama nabi adalah ibunya, bukan kakeknya. Selanjutnya, kita sebagai umat islam disunnahkan untuk menghormati orang yang diberi nama Muhammad. Dan disunnahkan juga untuk memberi nama anak dengan Muhammad sesuai hadis nabi:

تَسَمَّوْا بِاسْمِي، وَلاَ تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي، فَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ، أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ

“Berilah nama dengan namaku, akan tetapi jangan memanggil dengan panggilanku (yakni Abul-Qasim) kerana sesungguhnya aku adalah Qasim (pembahagi) yang membahagi di antara kamu”. (Hadis Riwayat Imam Muslim)
Selanjutnya juga ada hadis Rosululloh SAW bersabda "Barang siapa yang dilahirkan baginya seorang anak, kemudian menamakan anaknya Muhammad, karena kecintaannya kepadaku, dan mengambil berkah dengan namaku, maka dia dan anaknya akan ada di surga nanti".

Nabi dan Rosul
Maksud keluarga, shohabat, fiqih
Dan rosul dari manusia adalah laki-laki yang merdeka yang diberi wahyu kepadanya dengan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikannya (kepada umatnya), walaupun tidak ada baginya kitab atau nasakh seperti nabi Yusya' AS. Jika tidak diperintahkan untuk menyampaikannya maka disebut nabi.
Rosul itu lebih utama daripada nabi berdasarkan ijma'. Benar ada hadis yang menerangkan bahwa jumlah nabi 'alaihimus sholatu wassalam 124.000 dan jumlah rosul ada 315.
Dan atas keluarga beliau, maksudnya kerabat-kerabat beliau yang mukmin dari Bani Hasyim dan Mutholib, dan juga ada pendapat: mereka adalah semua orang mukmin, di dalam maqam doa atau semisalnya. Pendapat ini diambil dari hadis yang dhoif, dan Imam Nawawi menetapkannya di kitab belau Syarh Muslim (Imam Nawawi mengambil pendapat ini).
Dan shohabat-shohabat beliau, yaitu isim jamak bagi shohib (tidak ada mufrodnya), yang maknanya shohabi, yaitu orang yang berkumpul dalam keadaan beriman bersama nabi kita SAW, walaupun dalam keadaan buta atapun belum mumayyiz. Mereka semua beruntung dengan ridho Alloh, yaitu sifat dari orang yang telah disebut (keluarga dan shohabat).
Dan setelahnya, setelah yang telah berlalu dari basmalah, hamdalah, sholawat dan salam dari orang yang telah disebutkan, maka ini adalah karangan yang sudah ada di pikiran, ringkasan, yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya, dari kata ikhtishor.
Di dalam masalah fiqih, secara bahasa adalah alfahmu (paham), secara istilah adalah ilmu mengenai hukum-hukum syariat berupa amalan-amalan yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dan pengambilannya dari kitab (Alquran), sunnah, ijma' dan qiyas.Faidah dari fiqih adalah melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangannya."
Perbedaan antara nabi dan rosul terletak pada kewajiban untuk menyampaikan wahyu yang telah diberikan oleh Alloh. Jika rosul wajib menyampaikannya, sedangkan nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Ada pendapat lain yang mengatakan nabi dan rosul itu sama-sama diperintahkan menyampaikan wahyu, sedangkan perbedaan antara nabi dan rosul adalah, nabi tidak diberikan ajaran baru, hanya meneruskan ajaran dari rosul sebelumnya.

Sebelum adanya ijma', ada perbedaan pendapat siapa yang lebih utama. Pendapat pertama bahwa nabi lebih utama dari rosul sebab nabi tidak ada kaitannya dengan makhluk, nabi hanya memikirkan Alloh. Selalu sibuk ibadah kepada Alloh. Pendapat kedua mengatakan rosul lebih afdhol daripada nabi. Setelah ijma', tercapai kesepakatan ulama bahwa rosul lebih utama daripada nabi.

Ada yang berpendapat nabi berasal dari kata nabwah yang artinya "tempat yang tinggi". Menjadi nabi karena kedudukannya tinggi di sisi Alloh. Ada juga yang berpendapat dari kata naba'a, karena nabi yang memberi penjelasan kepada ummatnya, menyampaikan wahyu.

Ulama ada yang berpendapat bahwa jumlah nabi ada 124.000 dan jumlah rosul ada 315. Namun, jika ada yang bertanya berapa jumlah nabi dan rosul, yang lebih baik dan lebih benar adalah dengan menjawab "tanpa ada batasan, wallohu a'lam". Karena dalam Al Qur'an Alloh mengatakan "Diantara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu, dan dari antara mereka ada yang tidak kami ceritakan kepadamu". Karena itu jika kita menjawab jumlahnya 124.000, takutnya jumlah sebenarnya lebih daripada itu, akhirnya mengurangi dari jumlah nabi. Atau ternyata jumlahnya kurang dari 124.000, maka kita telah mengangkat nabi yang bukan nabi. Karena itu lebih baik menjawab tidak dibatasi untuk hati-hati. Wallohu a'lam.

Adapun jumlah rosul yang harus/wajib diketahui ada 25. Kalau kita ingkar salah satunya setelah kita mengetahui ke 25 itu, maka hukumnya kafir. Jika belum mengetahui ke 25 tersebut, lalu mengingkari maka tidak dihukumi kafir.

Shohabat adalah orang yang beriman yang "badannya" berkumpul dengan nabi pada saat nabi masih hidup, meskipun itu orang buta atau anak kecil yang belum mumayyiz. Disyaratkan badan di sini, karena jika ada orang yang bertemu nabi hanya lewat mimpi, badannya tidak bertemu, meskipun nabi masih hidup, maka tidak dikatakan shohabat.

Kitab diringkas supaya mudah dihafal. Sedangkan kalau diperinci tujuaanya untuk dipahami. Jadi jika ada kitab berupa ringkasan maka sebenarnya tujuan si penulis kitab adalah agar kitab tersebut bisa dihafalkan dahulu.

Keutamaan belajar ilmu fiqih ada banyak sekali, di antaranya adalah hadis yang mengatakan "Menghadiri majelis yang didalamnya berisi ilmu fiqih lebih utama daripada ibadah 60 tahun" ada dikatakan juga "Sedikit ilmu fiqih lebih banyak daripada banyak ibadah".

Wallohu a'lam bisshowab

Romeltea Media
Kajian Islami Updated at:

Fathul Mu'in, Muqoddimah 2, Penjelasan Basmalah, Hamdalah, Sholawat, Salam

Penjelasan tentang Basmalah
Kajian Fathul Mu'in - Penjelasan Basmalah, Hamdalah, Sholawat.
Bismillahirrohmanirrohim.
"Dengan menyebut nama Alloh yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku mulai mengarang. Kata al ismu berasal dari kata as sumuwwu, yang artinya di atas, bukan dari kata al wasmu yang artinya tanda."

Bismillah yang kedua ini adalah bismillah yang ada di matan, yaitu bismillah yang ada di kitab Qorrotul 'ain Bimuhimmatiddin. Sedangkan Bismillah pada postingan sebelumnya adalah bismillahnya kitab Fathul Mu'in. Di sini, kata al ismu berasal dari kata as sumuwwu yang berarti di atas, sehingga lafadz bismillah sebenarnya lebih tepat diartikan "dengan keluhuran Alloh", daripada "dengan nama Alloh".

Penjelasan Alloh, hamdalah, sholawat dan salam
"Dan Alloh adalah suatu nama bagi dzat yang wajib adanya. Asal katanya adalah Ilah, yaitu nama jenis bagi sesuatu yang disembah (Tuhan), kemudian dita'rif dengan al (alif lam, sehingga menjadi al ilah), dan dibuang hamzahnya (yang kedua). Kemudian digunakan lafadz tersebut bagi sesuatu yang disembah secara haq. Alloh adalah ismul a'dhom berdasarkan pendapat yang lebih banyak. Tidak boleh memberi nama dengan Alloh kepada selain Alloh, meskipun karena kefanatikan/saking cintanya.
Arrohman dan arrohim adalah dua sifat yang dua-duanya dimabnikan untuk mubalaghoh (arti sangat) dari kata rohima. Kata arrohman lebih sangat dari kata arrohim, karena tambahnya huruf menunjukkan atas tambahnya makna. Dan berdasarkan perkataan para Ulama, rohmanud dunya wal akhiroh warohiimul akhiroh.
Segala puji bagi Alloh yang telah memberikan hidayah kepada kita, telah memberikan petunjuk kita kepada karangan ini. Dan tidaklah kita akan mendapatkan hidayah, seandainya Alloh tidak memberikan kita hidayah kepadanya.
Lafadz alhamdu adalah sifat/pujian untuk sesuatu yang baik (karena ada usaha).
Ashsholatu yang dari Alloh adalah arrohmah (rahmat Alloh) yang dibarengi dengan pengagungan. Dan assalam yaitu keselamatan dari penyakit/bala bencana dan kesulitan, kepada junjungan kita Muhammad SAW, utusan Alloh kepada semau atstsaqolain, yaitu jin dan manusia menurut ijma', dan juga kepada malaikat menurut seperti yang dikatakan sebagian ulama."

PENJELASAN MUQODDIMAH FATHUL MU'IN

Asal usul kata Alloh sendiri ada perbedaan pendapat di sini. Ada yang berpendapat kata Alloh tidak ada asal usulnya (murtajal), dan ada yang berpendapat ada asal usulnya (musytaq). Pendapat yang mu'tamad adalah pendapat yang mengatakan bahwa kata Alloh ada asal usulnya, yaitu berasal dari kata ilah, yang kemudian dita'rif dengan huruf alif dan lam sehingga menjadi al ilah. Selanjutnya, hamzah yang kedua dibuang dan dibaca tafkhim sehingga menjadi Alloh.

Lafadz Alloh adalah ismul a'dhom. Barang siapa berdoa denga ismul a'dhom maka doanya akan dikabulkan. Sesuai dengan hadis nabi SAW:

Dari shahabat Abu Tholhah ra, beliau berkata: Rasulullah SAW mendatangi seorang laki-laki, yang ketika itu sedang berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Mu bahwa hanya bagiMu segala pujian, tidak ada tuhan selain Engkau, Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemberi karunia, Pencipta langit dan bumi, Yang memiliki Keagungan dan kemuliaan

Lantas Rasulullah SAW berkata: “Sungguh dia telah memohon kepada Allah dengan isim a’dhom yang jika dipakai berdoa dengannya niscaya akan dikabulkan dan jika dipakai untuk memohon dengannya niscaya akan diberi.

Sedangkan Imam Nawawi berpendapat bahwa ismul a'dhom bukan lafadz Alloh, tetapi al hayyul qoyyum.

Terkadang orang sudah berdoa menggunakan ismul a'dhom tapi tidak dikabulkan doanya, lantas apa permasalahannya. Di sini perlu diketahui bahwa doa ada syaratnya agar diterima. Syarat utama berdoa agar diterima adalah memperbaiki batin dengan makanan yang halal. Artinya jangan memakan makanan yang haram, karena makanan haram membuat doa sulit terkabul. Addu'a miftahussama. wa asnanuhu lukmatul halal. Doa adalah kuncinya langit, sedangkan gigi-gigi kunci tersebut adalah makanan yang halal. Syarat selanjutnya adalah harus ikhlas, hadir hatinya. Jadi di dalam berdoa harus ikhlas dan hatinya hadir.

Tidak ada seorang pun yang boleh diberi nama Alloh, selain Alloh itu sendiri. Pernah ada seorang anak yang diberi nama Alloh oleh ibunya, lalu pada saat itu petir menyambar anak yang diberi nama Alloh tersebut. Lalu timbul pertanyaan, kenapa yang disambar petir anak tersebut, bukan ibunya, padahal yang memberi nama adalah ibunya, sedangkan anaknya tidak tahu apa-apa. Maka ulama menjawab, seandainya yang disambar petir ibunya, maka si anak masih tetap hidup dan masih bernama Alloh sehingga masih ada nama Alloh selain Alloh itu sendiri. Jika si anak yang disambar petir maka tidak ada lagi nama Alloh selain Alloh itu sendiri.

Arrohman dan Arrohim dua-duanya dibentuk dari kata rohima. Arrohman lebih sangat daripada arrohim, yang pertama karena jumlah huruf dalam arrohman lebih banyak daripada jumlah huruf dalam arrohim. Jumlah huruf dalam arrohman ada 7 (alif, lam, ro, kha, mim, alif, nun, perlu diingat dalam arrohman mimnya panjang/mad) sedangkan jumlah huruf dalam arrohim ada 6 (alif, lam, ro, kha, ya, mim). Yang kedua arrohman lebih sangat daripada arrohim karena ada perkataan ulama rohmanud dunya wal akhiroh warohimul akhiroh. Sifat arrohman merupakan sifat kasih sayang Alloh baik dunia maupun akhirat (baik orang kafir maupun muslim) sedangkan arrohim merupakan sifat kasih sayang Alloh hanya di akhirat saja (hanya kepada umat muslim).

Atstsaqolain berasal dari kata tsaqula yang artinya berat. Artinya yang memberati bumi, yaitu manusia dan jin. Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah yang berat dosanya yaitu manusia dan jin. Dan juga ada pendapat lain yaitu yang berat amalnya, manusia dan jin.

Selanjutnya, di dalam kitab-kitab fikih, jika ada kata-kata wakadza, maka di situ menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Romli mengatakan rasul juga diutus kepada malaikat, akan tetapi bukan irsal taklif, melainkan irsal tasyrif, diutus untuk memuliakan malaikat, karena malaikat juga ingin agar rosul diutus untuk mereka dalam rangka memuliakan.

Wallohu a'lam bishshowab.

Romeltea Media
Kajian Islami Updated at:

Saturday, June 6, 2015

Muqodimah 1 Fathul Mu'in, Fadhilah Basmalah, hamdalah, dan Pengenalan Kitab

Muqoddimah Fathul Mu'in
Kajian Fathul Muin - Fadhilah Basmalah, Hamdalah. Terjemahannya kurang lebih:
"Dengan menyebut nama Alloh yang maha pengasih dan maha penyayang. Segala puji hanya milik Alloh, yang Maha Membuka (daripada simpanan rahmat kepada macam-macam manusia), Maha Dermawan, yang memberi pertolongan untuk memahami permasalahan agama bagi hambanya yang dipilih. Dan aku bersaksi bahwasannya tiada Tuhan selain Alloh, syahadat yang akan memasukkan kita ke rumah kekal (surga), dan aku bersaksi bahwasannya Sayyidina Muhammad SAW adalah hambanya dan rosulnya, yang mempunyai maqam yang terpuji (umat dahulu dan terakhir akan memuji rosul). Sholawat dan salam semoga Alloh curahkan kepada nabi dan kepada keluarga beliau dan para shohabat beliau yang mulia, sholawat dan salam yang mana aku beruntung dengan sholawat dan salam tersebut di hari pembalasan.
Dan setelahnya, ini adalah syarh yang memberikan faidah kepada Kitabku yang diberi nama "Qurrotul 'ain Bimuhimmaatiddiin", yang menerangkan/menjelaskan tentang maksud, menyempurnakan faidah, mendapatkan maksud-maksud, menampakkan faidah-faidah. Dan aku memberinya nama "Fathul Mu'in Bisyarhi Qurrotul A'in Bimuhimmatiddin". Dan aku memohon kepada Alloh yang memiliki kemuliaan dan yang memberikan nikmat secara mutlak, untuk meratakan daripada manfaat kitab ini bagi orang khusus dan umum dari saudara-saudaraku, dan mudah-mudahan Alloh menempatkanku lantaran kitab ini di surga Firdaus, rumah yang aman, sesungguhnya Alloh yang paling mulia di antara yang mulia dan yang paling rahmat di antara yang rahmat".
Di sini kita melihat bahwa pengarang kitab Fathul Mu'in ini memulai pembahasan kitab ini dengan menyebut basmalah. Sama dengan kitab-kitab lain yang dituliskan oleh para Ulama, mereka selalui memulainya dengan mengucapkan lafadz basmalah.

Ada dua alasan kenapa para ulama selalu memulai karangannya dengan basmalah. Yang pertama adalah mengikuti panduan dari Alquran. Alquran adalah sumber utama hukum islam, panduan yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Alquran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan Al Furqon, pembeda antara yang haq dan yang batil. Alquran sendiri dimulai dari surat Al Fatihah, dan ayat pertama dari surat Al Fatihah adalah Basmalah. Oleh karena itu, para ulama mengikuti panduan dari Alquran bahwa setiap menulis kitab karangannya, mereka selalui memulainya dengan lafadz basmalah sebagaimana Alquran dimulai dengan basmalah.

Alasan yang kedua adalah karena mereka ingin mengamalkan hadis nabi SAW:

كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بـ ” بسم الله ” فهو أبتر ” ، أي: ناقص البركة

"Segala sesuatu yang menurut syariat dianggap penting, yang tidak dimulai dengan basmalah, maka dia terputus" maksudnya adalah berkurang barokahnya atau sedikit berkahnya atau terputus berkahnya. Dalam riwayat lain disebutkan fahuwa aqtho' dan riwayat lain menyebutkan fahuwa ajdam. Aqtho' artinya terputus tangannya, kalau abtar artinya terputus keturunannya, sedangkan ajdam adalah terkena penyakit lepra.

Jadi menurut hadis di atas, segala sesuatu yang dianggap penting oleh syariat, hendaknya dimulai dengan basmalah agar banyak barokahnya. أمر ذي بال, atau sesuatu yang dianggap penting oleh syariat, adalah sesuatu yang bukan perkara yang haram, bukan pula perkara yang makruh, dan bukan pula perkara yang dianggap remeh (safaasihil umur).

Oleh karena itu, para ulama selalu memulai kitab karangannya dengan bacaan basmalah agar berkah yang diambil oleh para pembacanya banyak. Jika mereka tidak memulai dengan bacaan basmalah, mereka khawatir kitab yang dituliskan tidak mempunyai berkah yang banyak bagi para pembacanya.

Tafsir atau keterangan dari basmalah ini sebenarnya panjang sekali, bahkan Sayyidina Ali karomallohu wajhah pernah berkata "seandainya aku  mau menerangkan lafadz basmalah ini, niscaya aku akan tulis sampai 80 unta, yang mana 80 unta itu dipenuhi dengan kitab, yang mana kitab itu isinya menjelaskan tentang basmalah".

Hukum membaca basmalah ini dapat dibedakan menjadi 5 sebagai berikut:
  1. Wajib, contohnya saat sholat, dimana di dalam sholat wajib membaca al fatihah, sedangkan basmalah adalah ayat pertama dari al fatihah.
  2. Haram, membaca basmalah pada saat mengerjakan perkara haram lidzaatihi seperti mencuri.
  3. Makruh, membaca basmalah pada saat mengerjakan perkara makruh lidzatih, seperti mencabut uban.
  4. Mubah, untuk perkara yang tidak ada kemuliaan di dalamnya, seperti baca basmalah pada saat memindahkan suatu barang, kecuali diniatkan dzikir atau baca alquran maka dapat pahala.
  5. Sunnah, memulai basmalah untuk perkara yang sunnah.
Setelah membaca basmalah pengarang kitab melanjutkannya dengan mengucapkan hamdalah. Hamdalah merupakan komponen wajib dalam penulisan kitab oleh para ulama. Dalam menulis suatu kitab, ada komponen yang dianggap wajib yaitu basmalah, hamdalah, syahadat, dan sholawat atas nabi, keempat komponen tersebut pasti ada di dalam kitab karangan para ulama.

Selain itu ada hal yang disunnahkan dalam menulis kitab seperti menamakan dirinya di dalam kitabnya, supaya orang yang membacanya tahu ini kitab karangan siapa, kemudian mendatangkan baroatul istidlal, yaitu ayat Alquran atau hadis nabi yang menunjukkan kitab itu berisi tentang apa, apakah fiqih, aqidah, akhlaq, dan sebagainya.

Al Fattah artinya yang Maha Membuka. Ada faidah yang mengatakan jika seseorang membaca "al fattah" setelah sholat fajar (shubuh) sebanyak 71 kali, dan meletakkan tangannya di atas dadanya, maka hatinya akan menjadi bersih, kemudian akan diberikan oleh Alloh terang hatinya, dan Alloh akan memudahkan perkarannya.

Ada perbedaan antara Al Jawwad dan Al Karim. Al Jawwad berarti dermawan, yaitu memberi sesuatu sebelum diminta. Sedangkan Al karim, yaitu memberi sesuatu setelah diminta.

Lafadz waba'du/amma ba'du merupakan lafadz yang digunakan untuk mengalihkan suatu pembicaraan ke pembicaraan yang lainnya, seperti sering kita dengarkan pada saat ceramah atau khutbah Jumat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali mengucapkan waba'du/amma ba'du adalah Nabi Dawud AS. Rosululloh SAW juga dalam setiap ceramahnya selalu mengucapkan amma ba'du.

Fathul Mu'in adalah kitab yang merupakan syarh atau penjelasan dari kitab Qurrotul 'ain Bimuhimmatiddin, yang juga dikarang oleh pengarang kitab Fathul Mu'in ini (Syekh Zainuddin Al Malibari). Qurrotul 'ain artinya pendingin/penyejuk mata.

Romeltea Media
Kajian Islami Updated at:

 
back to top